Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjadi “MANUSIA” itu berproses dan tidak instan oleh Radensyah, S.Pd

    Kita manusia tidak sama dengan robot, yang langsung bisa diatur secara prompt atau dicoding untuk fungsi tertentu dan hasilnya langsung ada. Manusia itu terdiri dari unsur ruhani dan jasmani yang berkembang secara terus menerus. Oleh karenanya, “manusia” butuh waktu untuk menjadi lebih baik dalam hidupnya.

    Settings dasar manusia adalah berproses sepanjang waktu, bukan di ctrl + C lalu di ctrl + V. Menjadi “manusia” tidak sesederhana yang kita bayangkan. Manusia punya ruhani yang perlu ditumbuhkan secara berkelanjutan agar menjadi lebih baik, hari demi hari, bulan, tahun dan seterusnya. Manusia tidak bisa tumbuh menjadi baik secara instan, tanpa proses belajar, tanpa pendidikan, tanpa bertafakur, tanpa berfikir kritis. Manusia harus tertib mengikuti fase. Ada rangkaian peristiwa yang kita harus ikut didalamnya agar jiwa kita matang, lebih dewasa dan hal penting lainnya. Inilah yang tidak diperhatikan manusia modern sekarang, ingin yang instan-instan saja ahirnya “perasaan” tidak terasah. Ibarat beras yang kita masak di dapur manual dengan api yang bersumber dari kayu bakar, jika apinya besar akan menggosongkan beras itu bukan menjadikannya nasi.

    Tentu timbul sebuah pertanyaan dalam benak kita, menjadi manusia yang bagaimana yang dimaksud? Berikut ini sedikit gambaran tentang menjadi “manusia” menurut versi penulis;

    Menurut saya menjadi manusia itu adalah adanya perbaikan terus menerus pada unsur ruhani dan tidak hanya jasmani. Ada perubahan dalam diri untuk lebih baik, semakin dekat dengan Tuhan dan banyak bermanfaat untuk sesama.
    Ada banyak konsep dalam filsafat manusia maupun dalam tasawuf menyangkut ini, salah satu konsep yang kita kenal adalah bahwa manusia itu belumlah menjadi manusia jika belum menata hatinya dan sifat sifat buruknya. Pernah suatu saat dalam sebuah video youtube saya mendengarkan ceramah yang kurang lebih isinya, kita ini mengatakan diri kita manusia, tapi kita mencuri, mengejek, menghina yang biasa dilakukan hewan. Menurut saya ada benarnya yang dikatakan penceramah itu. Contohnya mencuri, ini kan dilakukan oleh tikus misalkan, berarti jika ada manusia yang mencuri artinya sifat mencuri itu ada pada tikus ada juga pada manusia itu, lalu apa beda keduanya. Jika memang kita manusia, maka sesuaikanlah porsi menjadi sebenar-benarnya manusia.
    Pada ahad, 13 maret 2016, KH. Kiai Dalhar mengungkapkan bahwa
untuk menjadi manusia sebagai makhluk yang sebenar-benarnya manusia, harus menyadari hakikat diciptakannya manusia. " Dalam diri kita mengalir darah. Dalam darah kita ada ruh dan dalam ruh ada rasa. Sehingga jika orang tak punya rasa, hakikatnya bukan manusia tegasnya.
    Dari pernyataan beliau diatas dapat kita beri titik fokus bahwa seseorang yang tak punya rasa, hakikatnya bukan manusia. Jika manusia mengabaikan rasa dalam dirinya maka ia dalam masalah besar. Sarana penting yang diberi oleh Tuhan tidak ia perdulikan padahal itu alat penting dala diri manusia. Bagi yang hanya berparadigma pada jasmaninya saja, secara fisik memang ia manusia, tetapi secara ruhani masih belum dapat dikatakan ia manusia. Fisiknya manusia, Sifatnya bertentangan.

    Dalam menjalani hidup ini kita harus terus berproses menjadi lebih baik. Meskipun caranya adalah pelan-pelan. Ada capaian dari waktu waktu. Karena perubahan penting ada pada ruhani, perubahan inilah yang harus ada hari demi hari. Kita ikuti prosesnya seperti mencari ilmu , sekolah, dan hal lain yang menunjang kebaikan ruhani kita. Proses ini terjadi secara terus menerus karena belajar berlaku sepanjang hayat. Poinnya adalah hal apa yang harus kita tempuh agar ruhani kita menjadi baik, tidak lagi merugikan orang lain tapi bermanfaat untuk orang lain, semakin dengan dengan Tuhan bukan semakin jauh. Mari kita berdoa agar dimudahkan diri kita untuk semakin baik

Radensyah, S.Pd
konten kreator
berasal dari Rimba Raya Bener meriah.

Referensi:
2. Diskusi Gayology
3. Video youtube
4. Buku talim-mutaalim