Kemerosotan Moral dan hilangnya karakter anak bangsa oleh Dr. Joni, M.Pd.B.I.
Penting untuk memahami bahwa degradasi moral pada anak bangsa bukan sekadar isu abstrak, melainkan fenomena yang didukung oleh berbagai data dan fakta. Pergeseran nilai ini terlihat dari meningkatnya berbagai kasus penyimpangan perilaku di kalangan anak muda.
Bukti Fakta Kemerosotan Moral Anak Bangsa
Beberapa data dan kasus yang sering diberitakan menunjukkan adanya kemerosotan moral yang mengkhawatirkan:
Peningkatan Kasus Kenakalan Remaja;
Berdasarkan data dari berbagai lembaga, kasus kenakalan remaja, seperti tawuran, perundungan, dan penyalahgunaan narkoba, menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Contohnya, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan kepolisian di beberapa daerah mencatat kenaikan signifikan pada kasus-kasus kriminal yang melibatkan remaja. Kasus tawuran antar pelajar yang kerap terjadi di berbagai kota hingga memakan korban jiwa menjadi salah satu contoh nyata.
Tingginya Angka Perundungan (Bullying);
Laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa kasus perundungan di lingkungan sekolah masih sangat tinggi. Perundungan ini tidak hanya sebatas kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal dan siber (cyberbullying) yang meninggalkan trauma mendalam bagi korban.
Kasus Kekerasan Seksual pada Anak;
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terus meningkat. Yang lebih memprihatinkan, pelaku seringkali adalah orang terdekat, seperti keluarga atau teman.
Penyalahgunaan Teknologi dan Perilaku Menyimpang;
Kemudahan akses internet dan media sosial, jika tanpa pengawasan, dapat mengarahkan anak dan remaja pada konten-konten negatif, seperti pornografi, kekerasan, atau budaya hedonisme. Hal ini berkontribusi pada perilaku menyimpang dan hilangnya empati.
Faktor penyebab utama kemerosotan moral ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu:
- Lingkungan Keluarga: Kurangnya pengawasan, komunikasi yang buruk, dan ketidakstabilan di dalam keluarga dapat membuat remaja mencari perhatian dan pelarian di luar.
- Pengaruh Lingkungan dan Pergaulan: Tekanan dari teman sebaya seringkali menjadi pemicu remaja untuk mencoba hal-hal yang menyimpang demi mendapatkan pengakuan.
- Lembaga Pendidikan: Sekolah yang hanya berfokus pada aspek akademik tanpa mengutamakan pendidikan akhlak, moral, dan etika akan gagal membentuk karakter siswa secara utuh.
- Peran Pemerintah: Pemerintah yang hanya berkutat pada dokumen dan kebijakan tanpa berinvestasi serius pada kesejahteraan dan integritas pendidik akan membuat pendidikan karakter tidak berjalan optimal.
- Kurangnya Pemahaman Agama dan Norma adat-istiadat: Kurangnya penanaman nilai-nilai agama dan etika atau norma adat sejak dini juga menjadi faktor penting yang membuat anak kehilangan adab dan pegangan moral.
Hampir seluruh pakar pendidikan menegaskan bahwa kecerdasan tanpa karakter berbahaya seperti pedang tajam tanpa arah moral, karena dapat disalahgunakan untuk manipulasi dan kerusakan. Kami menekankan pentingnya karakter yang seimbang antara akal, semangat, dan nafsu sebagai pondasi moral yang memastikan individu dan negara tetap kokoh, meskipun cerdas. Pendidikan sejati harus membangun jiwa dan karakter, bukan hanya logika, agar manusia mampu berdiri teguh dan bertanggung jawab. Dalam kehidupan, karakter adalah kompas yang menentukan arah, sedangkan kecerdasan hanyalah layar yang mempercepat perjalanan. Menurut Plato, masyarakat yang sehat terdiri dari individu berkarakter, bukan sekadar jenius, karena karakter adalah fondasi utama keberlangsungan dan kebaikan bersama. Oleh karena itu, yang lebih penting dipertanyakan bukan seberapa cerdas kita, tetapi seberapa kuat karakter kita, karena kebaikan, bukan kecerdasan, yang memberi makna sejati hidup dan negara.
Dr. Joni, M.Pd.B.I.
*Dosen NISNU Temanggung
